Terlalu Lama Duduk Tingkatkan Risiko Alzheimer, Meski Rutin Berolahraga

Penelitian menemukan adanya hubungan antara kebiasaan duduk terlalu lama akan memengaruhi penurunan fungsi kognitif dan kerusakan pada otak atau alzheimer.

Alzheimer menyebabkan kerusakan pada sel-sel otak yang menyebabkan penurunan kemampuan kognitif seperti ingatan, berpikir, dan berperilaku. Shutterstock/SAI SU PAW KA
JAKARTA – Alzheimer dikenal sebagai penyakit degeneratif yang menyerang fungsi otak secara bertahap serta dapat mengganggu ingatan, cara berpikir, dan bahkan kemampuan menjalani aktivitas sehari-hari. Aktivitas fisik selama ini dikenal luas mampu meningkatkan daya ingat, mempertajam kemampuan berpikir, hingga meredakan kecemasan dan depresi.
Melansir Everyday Health, sebuah studi terbaru yang dipublikasikan di jurnal Alzheimer’s & Dementia: The Journal of the Alzheimer’s Association pada 13 Mei 2025, mengungkap temuan penting, bagi orang lanjut usia, berolahraga secara rutin saja ternyata belum cukup untuk menurunkan risiko penyakit Alzheimer. Waktu duduk yang terlalu lama dalam keseharian tetap menjadi faktor risiko serius yang tidak boleh diabaikan.
“Dalam studi kami, meskipun para peserta cukup aktif secara fisik, durasi duduk yang panjang tetap memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan risiko Alzheimer,” ujar Marissa Gogniat, penulis utama studi sekaligus asisten profesor neurologi di University of Pittsburgh.
Duduk Terlalu Lama Terbukti Sebabkan Penurunan Kognitif
Penelitian ini melibatkan sekitar 400 orang berusia 50 tahun ke atas. Masing-masing peserta diminta mengenakan alat seperti jam tangan yang memantau aktivitas fisik mereka selama 24 jam sehari selama 10 hari berturut-turut.
Sekitar 20% peserta mengalami gangguan kognitif ringan sejak awal penelitian, sebuah kondisi yang bisa berkembang menjadi demensia. Mereka yang memiliki penyakit serius seperti gagal jantung, demensia parah, atau gangguan kejiwaan dikeluarkan dari studi ini.
Menariknya, sebagian besar peserta atau sebanyak 87% memenuhi rekomendasi aktivitas fisik dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC), yakni minimal 150 menit aktivitas intensitas sedang setiap minggu. Namun, hasil studi selama 7 tahun menunjukkan fakta berbeda.
Peserta yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan duduk, di sini tidak termasuk waktu tidur, justru mengalami penurunan fungsi kognitif dan kerusakan pada otak. Penurunan ini mencakup gangguan pada daya ingat dan kecepatan pemrosesan informasi, serta terjadi terlepas dari seberapa sering atau banyak mereka berolahraga.
Perubahan kognitif dan neurodegeneratif ini bahkan lebih parah pada peserta yang membawa gen risiko Alzheimer, yaitu APOE-e4. Menurut Gogniat, tes darah rutin dapat mengidentifikasi apakah seseorang memiliki gen tersebut.
Dari temuan tersebut, para peneliti menyimpulkan bahwa perilaku sedentari adalah faktor risiko independen terhadap penyakit Alzheimer. Peserta dalam studi ini rata-rata duduk selama 13 jam setiap hari.
Namun, para peneliti tidak menyebutkan secara pasti berapa lama waktu duduk yang bisa dianggap membahayakan fungsi otak.
“Tidak ada angka pasti yang bisa dijadikan patokan,” kata Carli Carnish, DPN, RN, asisten profesor di Case Western Reserve University School of Nursing, Cleveland.
Namun ia menjelaskan, semakin sering seseorang duduk diam, semakin lemah otot-ototnya, dan semakin sulit untuk tetap aktif. Ia menambahkan, bagi lansia, ini bisa menjadi lingkaran setan yang mengarah pada penurunan fungsi secara menyeluruh.
Peserta studi ini direkrut dari Vanderbilt Memory and Alzheimer’s Center di Nashville, Tennessee. Mayoritas mereka cukup aktif, tidak memiliki kondisi kesehatan yang berat, lebih dari 50% berjenis kelamin laki-laki, dan 85% merupakan kulit putih non-Hispanik.
Karena itu, menurut Gogniat, hasil studi ini belum tentu mewakili populasi yang lebih luas. Selain itu, para peneliti tidak mengamati secara rinci aktivitas apa saja yang dilakukan peserta saat duduk.
Apakah mereka membaca, bermain puzzle, atau sekadar melamun. Ini akan menjadi fokus penelitian selanjutnya. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa aktivitas mental seperti bermain teka-teki atau permainan otak dapat membantu memperlambat penurunan kognitif.
“Secara logika, tentu lebih baik jika duduk sambil melakukan hal-hal yang merangsang pikiran daripada melamun kosong,” jelas Gogniat.
(Rh99)