
Polemik 4 Pulau Aceh dan Sumut, Antara Jejak Historis dan Letak Geografis

JAKARTA, SEJUK.co.id – Empat pulau yang berada di dekat pesisir pantai Kabupaten Tapanuli Tengah, yakni Pulau Mangkir Kecil, Pulau Mangkir Besar, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan, menjadi sorotan publik belakangan ini.
Hal itu dipicu oleh Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menegaskan bahwa keempat pulau tersebut masuk dalam wilayah administrasi Provinsi Sumatera Utara.
Keputusan Kemendagri ini menjadi titik temu konflik, meskipun setelah diputuskan, tensi antara kedua provinsi, yakni Aceh dan Sumatera Utara, mulai bergejolak.
Konflik ini sebenarnya sudah terjadi belasan tahun lalu, tepatnya pada 2008, saat kegiatan verifikasi data Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi yang disusun oleh Kemendagri, Kementerian Kelautan, Bakosurtanal, pakar toponimi, dan pemerintah Aceh.
Saat itu, Provinsi Aceh telah memverifikasi dan membakukan 260 pulau. “Namun, tidak terdapat empat pulau yaitu Mangkir Gadang (Besar), Mangkir Ketek (Kecil), Pulau Lipan, dan Pulau Panjang,” ujar Direktur Jenderal Bina Administrasi Wilayah Kemendagri, Safrizal Zakaria Ali, saat memberikan paparan kepada awak media, Rabu (11/6/2025).
Pada November 2009, Gubernur Aceh menyampaikan surat konfirmasi untuk 260 pulau dengan perubahan nama Pulau Rangit Besar menjadi Mangkir Besar, Rangit Kecil menjadi Mangkir Kecil, Pulau Malelo menjadi Pulau Lipan, dan Pulau Panjang tetap dengan nama yang sama dengan masing-masing koordinatnya.
Namun, setelah Kemendagri melakukan konfirmasi koordinat, keempat pulau yang diusulkan dengan titik koordinat masing-masing tidak menunjukkan posisi yang dimaksud.
Koordinat yang berada dalam surat Gubernur Aceh berada di wilayah Kecamatan Pulau Banyak, bukan di wilayah Kecamatan Singkil Utara.
Kemendagri melihat ada kejanggalan nama pulau dengan titik koordinat yang berbeda, karena empat pulau yang dimaksud berjarak 78 kilometer dari titik koordinat yang diberikan Aceh.
Aceh Masuk ke Sumut Kemendagri kemudian melakukan rapat pembahasan untuk melakukan analisis spasial terhadap empat pulau yang menjadi konflik, dan hasilnya pada 8 November 2017, Dirjen Bina Adwil Nomor 125/8177/BAK menegaskan bahwa empat pulau tersebut masuk dalam cakupan Provinsi Sumatera Utara.
Aceh kemudian kembali mengeluarkan surat untuk merevisi koordinat empat pulau tersebut yang semula titiknya berada di Pulau Banyak berpindah ke Singkil Utara.
Dalam surat itu juga dijelaskan bahwa koordinat yang semula dicantumkan adalah milik Pulau Rangit Besar, Rangit Kecil, Malelo, dan Panjang yang berada di Pulau Banyak. Namun, setelah rapat bersama Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Kemenkomarves), KKP, dan berbagai lembaga/kementerian pada 2020, disepakati bahwa empat pulau itu masuk wilayah Provinsi Sumatera Utara.
Pada 13 Februari 2022, kembali dibahas empat pulau tersebut bersama dengan Pemda Aceh dan Pemda Sumut, namun tidak terjadi kesepakatan.
Sehingga pada 14 Februari 2022, Kemendagri menerbitkan Keputusan Nomor 050-145 tentang pemutakhiran kode, data wilayah administrasi yang memasukkan empat pulau tersebut ke dalam wilayah Sumut.
Keputusan ini disomasi oleh Gubernur Aceh yang akhirnya kembali difasilitasi survei faktual ke empat wilayah pada 31 Mei-4 Juni 2022.
Dari hasil survei dijelaskan bahwa empat pulau tidak berpenduduk, ditemukan tugu yang dibangun Pemerintah Aceh dan makam aulia yang sering dikunjungi masyarakat untuk berziarah.
Pulau Lipan hanya ada pasir putih dan dalam kondisi tenggelam.
Kemudian, beberapa dokumen baru disampaikan Pemerintah Aceh yang menjadi pertimbangan lanjutan.
Konflik ini terus berlanjut hingga akhirnya pada 16 Juli 2022, Pemda Sumut menyampaikan bahwa empat pulau tersebut adalah bagian dari mereka.
Pemerintah Pusat kemudian mengambil alih konflik dan menetapkan empat pulau tersebut berada dalam wilayah administrasi Sumatera Utara karena letak geografis yang lebih dekat dari Tapanuli Tengah ketimbang dari Aceh Singkil. Aceh pakai data historis, Sumut ikuti
Aceh pakai data historis, Sumut ikuti pusat
Dalam kesempatan yang sama, Safrizal menjelaskan, Aceh memiliki beragam perspektif dan bukti terkait wilayah administrasi di empat pulau itu.
Pertama adalah “SK Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Atjeh Nomor 125/IA/1965 tanggal 17 Juni 1965, membuktikan secara administrasi dikeluarkan oleh instansi yang berada dalam Provinsi Aceh.
Kemudian bukti kedua adalah surat kuasa dari Teuku Djohandsyah bin Teuku Daud kepada Teuku Abdullah bin Teuku Daud tertanggal 24 April 1980.
Lalu, Pemda Aceh juga memiliki peta topografi TNI AD 1978 yang menyelesaikan batas Aceh dengan Sumut.
Peta tersebut dengan jelas memberikan status bahwa empat pulau berada di dalam wilayah Pemda Aceh.
Pemda Aceh juga memiliki dokumen kesepakatan bersama yang ditandatangani Gubernur Aceh, Ibrahim Hasan, dan Gubernur Sumatera Utara, Raja Inal Siregar, yang menyepakati bahwa empat pulau tersebut masuk dalam cakupan wilayah Aceh.
Mereka juga membawa surat keputusan Mendagri Nomor 111 Tahun 1992 yang menjelaskan batas wilayah Aceh mengacu pada peta topografi TNI AD 1978.
Data historis lainnya adalah Berita Acara tahun 2021 tentang penyelesaian sengketa adat Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah, hasil rapat pembahasan Pemprov Aceh dan Pemprov Sumut pada 31 Oktober 2002, serta Qanun RZWP3K Aceh yang pada intinya menyepakati bahwa empat pulau itu masuk wilayah Aceh.
Sedangkan Sumut memiliki dalil berbeda, mereka memberikan dasar wilayah empat pulau tersebut dari Berita Acara Rapat Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi pada 30 November 2017.
Mereka juga mendalilkan bahwa empat pulau itu masuk wilayah Sumut dari hasil verifikasi oleh Timnas Nama Rupabumi pada 2008.
Dalil lainnya adalah Surat Mendagri Nomor 136/046/BAK pada 4 Januari 2018 yang mendaftarkan empat pulau bersengketa itu pada UN Conference on the Standardization of Geographical Names, sebagai bagian dari Provinsi Sumut.
Ada juga berita acara kesepakatan pada 11 Januari 2018 yang ditandatangani Pemda Aceh bersama Pemda Sumut terkait rencana zonasi wilayah pesisir, Perda Nomor 4 Tahun 2019 Sumut, dan Keputusan Mendagri Nomor 050-145 yang pokoknya memasukkan empat pulau itu ke dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara.
Harus Segera Duduk Bersama
Melihat konflik yang semakin meruncing setelah Keputusan Kemendagri dibuat, Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman Suparman, menyarankan agar segera diadakan dialog bersama dengan kedua kepala daerah yang sedang berseteru.
Terlebih, ketidakpuasan Pemprov Aceh sangat jelas terlihat dari rekam jejak beberapa kali mengeluarkan surat klarifikasi dan somasi atas keputusan Pemerintah Pusat ini.
“Tampaknya Provinsi Aceh itu belum puas dengan keputusan ini. Kami mendorong, paling pertama, pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, perlu memberikan ruang dialog, gitu, ya, antara pemerintah pusat, pemerintah Provinsi Sumatera Utara, dengan Aceh,” ucap dia.
Dalam forum dialog itu, Arman berharap agar Kemendagri bisa memberikan penjelasan yang komprehensif mengenai mengapa keputusan peralihan empat pulau ke Sumut itu harus diambil.
“Apa dasarnya, seperti apa kriterianya, sehingga keputusan itu keluar, sehingga Pemerintah Provinsi Aceh dan juga masyarakat Aceh tentunya mendapatkan kepastian,” ucap dia.
Kemendagri juga harus belajar dari kasus tersebut agar tidak terulang di masa depan dan menimbulkan gesekan antar kedua daerah yang sedang memperebutkan wilayahnya.
Caranya adalah dengan mengeluarkan pedoman resmi atau regulasi terkait kriteria atau indikator yang menentukan satu wilayah atau satu lokasi itu masuk ke dalam wilayah administrasi provinsi atau kabupaten tertentu.
“Ini memberikan kepastian terhadap Pemda dan juga masyarakat di daerah jika ke depan ada problem-problem seperti ini,” ujar dia.
(RH99)